Sabtu, 30 Mei 2015

Dongeng Asli Indonesia Terbaru | DONGENG ANAK DUNIA

Dongeng asli Indonesia terbaru
Dongeng asli Indonesia terbaru ini berjudul Siapa Mau Anak Ayam? yang ditulis oleh Erna Fitrini.

Bu Tyas duduk termenung di depan toko pakan ternak miliknya. Dalam tiga bulan ini, jumlah pembeli yang datang ke tokonya hanya lima orang. Masing-masing mereka hanya membeli setengah kilo dedak.

"Ah kalau terus begini, toko ini bisa bangkrut dan tutup," keluh Bu Tyas.

Anak-anak Negeri Kalomo memang sedikit sekali yang memiliki hewan peliharaan. Mereka umumnya memelihara electronic pet, hewan mainan yang dijalankan dengan batu baterai. Setiap dua jam, anak-anak itu memencet tombol untuk memberi makan. Kalau terlambat, hewan itu akan mati. Untuk menghidupkan hewan itu kembali, mereka cukup membeli kartu elektrik yang dijual di toko mainan.

Suatu hari, saat pulang dari pasar, Bu Tyas melihat seekor induk ayam berjalan santai. Di belakangnya, tampak enam ekor anaknya yang berwarna kuning. Enam anak ayam itu tampak lucu berlenggak-lenggok mengikuti induknya.

"Aha!" teriak Bu Tyas. Tiba-tiba, ia mendapat ide cemerlang. Bu Tyas bergegas pergi ke peternakan ayam milik Bu Fitri.

"Stok pakan ternak saya masih banyak,"kata Bu Fitri ketika melihat Bu Tyas.
Bu Tyas tersenyum kecil. "Saya bukan mau menawarkan pakan. Tetapi, mau membeli anak ayam,"kata Bu Tyas.

"Oh sebenarnya, saya hanya menjual ayam dewasa. Tetapi untuk Bu Tyas, bolehlah. Mari silahkan pilih!" tawar Bu Fitri. Ia menunjukkan kardus berisi anak ayam. Semua berwarna kuning. "Lihat, mereka sehat-sehat. Bu Tyas perlu berapa ekor?"

Setelah mencocokkan harga anak ayam dengan jumlah uang yang dimiliki, Bu Tyas menjawab, "Seratus ekor saja."

Bu Fitri memasukkan seratus lima ekor dalam sepuluh kantong semen. "Lima ekor sebagai bonus,"kata Bu Fitri sambil menerima uang pembelian.
Bu Tyas tidak langsung pulang. Ia berjalan memutar, menuju sekolah dasar terbesar di Negeri Kalomo. Jam pelajaran baru saja usai. Dengan sigap, Bu Tyas membagikan anak ayam ke anak sekolah. Mereka senang menerima anak ayam lucu.

Bu Tyas kini berjalan menuju tokonya sambil membawa lima belas anak ayam sisa. Ternyata, di muka toko sudah menunggu pak Gandi.

"Hai, Pak Gandi. Perlu apa, nih?"tanya Bu Tyas.
"Saya mau beli pakan ikan lele. Setengah kilo saja," jawab Pak Gandi. 

Bu Tyas menimbang setengah kilo pakan ikan lele dan memasukannya ke dalam tas plastik. "Ini, saya kasih hadiah satu anak ayam lucu." Bu Tyas menyerahkan pakan ikan lele dan satu ekor anak ayam kepada Pak Gandi.

Pak Gandi menyerahkan uang. "Wah terima kasih. Saya dengar, toko ini sepi. Malah ada yang bilang toko ini sebentar lagi akan tutup. Tetapi Bu Tyas malah bagi-bagi hadiah lucu. Terima kasih banyak, Bu Tyas.

Bu Tyas memindahkan sisa anak ayam ke dalam kardus supaya anak ayam itu bisa bernafas lebih baik. Ia tidak lupa meletakan dedak di dalam kardus.

"Bu Tyas!" panggil Bu Laela. "Punya makanan untuk anak ayam? Beli setengah kilo, ya."

"Sebentar saya ambilkan,"kata Bu Tyas.

Ia menimbang setengah kilo dedak dan memasukkan seekor anak ayam sebagai bonus.

"Ah terima kasih. Jadi seekor anak ayam yang di rumah akan ada temannya,"kata Bu Laela.

Baru saja Bu Laela pergi, sekitar delapan puluh orang datang silih berganti. Mereka datang untuk keperluang yang sama, membeli makanan untuk ayam. Sejak saat itu, toko pakan milik Bu Tyas kembali ramai didatangi orang. Mulanya mereka mencari makanan untuk anak ayam. Tetapi lambat laun, mereka mencari makanan untuk ayam dewasa. Toko pakan ternak milik Bu Tyas pun menjadi yang terbesar di Negeri Kalomo.


Lihat Dongeng Berikutnya


        Kembali ke Home

Dongeng Godek Naik Perahu | DONGENG ANAK DUNIA

Dongeng Godek Naik Perahu ditulis oleh Endang Firdaus

Ian punya seekor bebek mainan. Bebek mainan iu dapat mengapung di permukaan air, Ian memberinya nama Godek. Godek selalu diletakkan di sisi bak mandi. Biasanya sambil mandi, Ian bermain dengan bebek mainan itu.

"Wek, wek!" seru Ian, sambil mendorong Godek mengelilingi bak mandi. Setelah itu, ia akan menimbul tenggelamkannya.

"Hihihi!" Ian tertawa-tawa penuh suka cita.

Diam-diam, ada satu hal yang sangat ingin Godek lakukan. Ia ingin sekali naik perahu mainan lain.
Dari sisi kamar mandi, Godek memperhatikan Ian memutar kunci perahu itu. Ian lalu meletakkannya di air.

Whuuuussh! Perahu itu melesat kencang ke depan. Perahu itu lalu berbalik ke tempat semula jika sudah menyentuh dinding bak mandi di depannya.
"Pasti sangat asyik naik perahu mainan itu!" cetus Godek.

Suatu hari, Ian lupa membawa perahunya. Perahu itu ditinggalkannya di bak mandi. Hal aneh kemudian terjadi.

Penyumbat keran air tiba-tiba lepas. Perlahan air memenuhi bak. Perahu mainan pun terapung-apung di permukaan air. Air terus mengucur. Perahu mainan yang terapung-apung tiba di dekat Godek. Godek senang sekali melihat kesempatan itu.

Houp! Seketika Godek melompat. Tubuhnya mendarat di atas perahu. Lalu, whuuuush! Perahu bergerak maju. Mula-mula perlahan, lalu sangat cepat. Perahu itu mengelilingi bak.

Godek berpegangan kuat-kuat pada tiang layar. Setelah beberapa lama perahu pun berhenti. Godek merasa pusing. Namun ia senang karena keinginannya tercapai.

Tak lama kemudian, Ian masuk ke kamar mandi karena mendengar bunyi air mengalir. Ian menutup penyumbat keran air. Ian sangat terkejut melihat Godek berada di atas perahu mainannya.

"Mengapa Godek bisa ada di sini?" gumamnya, sambil garuk-garuk kepala.
Sejak saat itu, setiap mandi, Ian selalu meletakkan Godek di atas perahu mainannya. Godek amat senang! Ia merasa, Ia adalah bebek mainan paling bahagia di dunia.


Lihat Dongeng Berikutnya



        Kembali ke Home

Kamis, 28 Mei 2015

Dongeng Rahasia Breno | DONGENG ANAK DUNIA

Dongeng Rahasia Breno
oleh Bambang Irwanto

Rangga melepaskan Lili kelinci dari kandang mungil yang dibawanya. Lili kelinci langsung melompat lincah. Ia gembira melompat ke sana kemari di halaman belakang rumah Rangga yang luas.

"Hai! Penghuni baru, ya?" tanya seekor ayam kate.
"Iya. Kenalkan, aku Lili kelinci.

Rangga baru saja membeliku di pasar hewan,"jawab Lili kelinci.
"Namaku Keti,"'balas si ayam Kate. Mereka bersalaman.

Tidak berapa lama, datang Pati si burung merpati, Kili si kura-kura, dan Kitt si kucing anggora. Mereka ikut berkenalan dengan Lili.

"Eh, siapa yang sedang tiduran di teras itu?" tanya Lili.
"Oh, itu Breno,"jawab Pati. "Dia sombong."

Keti lalu bercerita. Breno adalah anjing kesayangan Tuan Rudi, papa Rangga. Breno dipercaya menjaga rumah. Sudah berkali-kali Breno berhasil mengusir maling.

"Hanya Breno yang bebas keluar masuk rumah. Kandangnya paling bagus. Makanannya juga mahal-mahal, dibeli di supermarket,"cerita Keti.

"Enggak seperti makanan kita, yang dibeli di pasar,"timpal Kitti sedih.

Suatu pagi, Lili tidak sengaja bertemu Breno yang bermalas-malasan di samping kolam ikan.

"Hai, Breno! Sedang apa?" Lili langsung menyapa Breno.
Breno membuka sebelah matanya. "Kenapa nanya-nanya?" jawab Breno galak.

"Jangan galak-galak, Breno! Aku cuma ingin berteman."
Breno menyalak keras sekali sambil memamerkan gigi-gigi taringnya yang tajam. Telinga Lili jadi sakit.

"Kenapa, sih, kamu tidak mau berteman dengan yang lainnya?"
"Kalian tidak punya keahlian. Beda dengan aku. Aku bisa berlari kencang, menangkap bola, menangkap pencuri, dan menjaga rumah. Penciumanku juga tajam."
"Kamu juga punya kekurangan, Breno."
"COba tunjukkan!" tantang Breno.

Lili mengambil bola Rangga yang berwarna merah dan biru. "Coba tebak, apa warna bola ini?" tanya Lili. Breno kebingungan.

"Aku tahu, semua anjing buta warna," tukas Lili.
"Tetapi, aku pernah menangkap pencuri,"bela Breno.
"Kamu hanya mengandalkan penciumanmu!"jawab Lili.

Breno menjadi malu. Lili tahu kekurangan dirinya.

"Kita semua punya kekurangan, Breno, supaya bisa saling membantu,"jelas Lili.
"Lili, maukah kamu menjaga rahasiaku?" tanya Breno lirih.
"Tentu saja. Asal kamu berjanji untuk rendah hati."

Breno terdiam. Namun ia lalu mengangguk sambil mengulurkan sebelah kaki depannya. Lili juga mengulurkan sebelah kaki depannya. Mereka saling tos, tanda persahabatan.


Lihat Dongeng Berikutnya



        Kembali ke Home

Dongeng Pelatih Kuda Kesayangan Raja | DONGENG ANAK DUNIA

Dongeng Pelatih Kuda Kesayangan Raja
oleh Widya Suwarna

Raja memiliki kuda istimewa yang gagah dan berbulu putih. Si putih dilatih oleh Pak Kole, sehingga kuda itu hanya menuruti perintah Raja. Si Putih tetap berdiri tegak walaupun peluru berdesing di kanan kirinya. Atau bila sebatang anak panah menancap di kakinya. Bahkan, ketika seekor buaya berdiri hanya dua meter di depannya. Jika Raja memerintahkan untuk berjalan, kuda itu berjalan.

Jika Raja memerintahkan berhenti, ia berhenti.

Ketika Raja sedang berburu, seekor ular mendekati si Putih. Si Putih diam karena Raja tidak memerintahkan apa-apa. Akibatnya, ular memagut kaki kuda itu. Saat itu, Pak Kole sedang menyiapkan rumput dan dedak untuk makanan si Putih. Ketika mengetahuinya, Pak Kole segera mengusir serta membunuh ular berbisa itu. Namun, si Putih sudah terkapar. Nyawanya tak tertolong.

Raja tahu bahwa itu bukan kesalahan Pak Kole. Akan tetapi, menurut hukum kerajaan Pak Kole harus dihukum mati karena lalai.

Raja sangat sedih. Mencari pelatih sebaik Pak Kole bukan hal mudah. Juga, tidak pantas jika Pak Kole dihukum mati.

Raja berunding dengan para menteri agar pasal dalam hukum kerajaan diubah. Akan tetapi, para menteri mengatakan bahwa hukum itu sudah berlaku ratusan tahun. Seorang pelatih kuda raja memang harus waspada menjaga kudanya.
Raja sangat sedih. Namun ia mendapat akal. Ia ingin para menteri melihat betapa bijaknya Pak Kole.

"Baik, besok kita adili Pak Kole. Tetapi, biarlah Pak Kole memilih cara kematian yang iainginkan! Kita tidak perlu menyediakan tiang gantungan! Siapa tahu, ia punya ide lain!" usul Raja.

Para menteri setuju.
Keesokan harinya, Pak Kole diadili. Ia tampak tenang. Ia menyatakan penyesalan karena lalai menjaga si Putih.

Lalu, Raja bertanya. "Pak Kole, jawab pertanyaan ini dengan jujur. Kematian yang bagaimana yang Bapak inginkan?"

Pak Kole menjawab,"Kematian sesuai waktu yang dikehendaki Tuhan, bukan yang diputuskan manusia. Tuhan berkuasa atas hidup mati seseorang. Yang muda belum tentu mati belakangan, yang tua belum tentu mati duluan!"

Para menteri terdiam. Mereka jadi sadar, kalau Pak Kole sangat bijaksana. Ia tidak pantas dihukum mati. Mereka juga sadar, kalau Raja sangat sayang pada Pak Kole.

Akhirnya, Pak Kole tidak jadi dihukum. Raja lalu membeli kuda baru. Kali ini, Pak Kole melatih kuda itu agar menjadi kuda yang cerdas. Kuda yang bisa menghindar dari bahaya, walau tidak diperintah Raja.


Lihat Dongeng Berikutnya



        Kembali ke Home

Selasa, 26 Mei 2015

Dongeng Kakek Pasto Pandai Berhitung | DONGENG ANAK DUNIA

oleh Wiwin

Rubel adalah rubah belang malas yang tinggal di Desa Hijau. Pekerjaannya hanya tidur, tidur, dan tidur. Kalau lapar ia akan meminta makanan dari teman-temannya. Kalau tak ada lagi yang mau memberinya makan, Rubel akan mencuri makanan dari rumah-rumah penghuni desa. Suatu hari, Boni si Kuda Nil memergokinya mencuri kue di rumah Nenek Ladia, seekor sapi tua yang pelupa.

"Aku akan laporkan ini pada Nenek Ladia, kata Boni.
"Silakan saja. Nenek Ladia tak akan percaya padamu," jawab Rubel, yakin.

Ternyata Rubel benar. Jangankan menghitung kue yang ia buat, Nenek Ladia pun lupa kalau ia sudah membuat kue. Rubel tertawa-tawa senang. Setelah itu ia tertidur pulas karena kekenyangan. "Suatu hari pasti ia akan ketahuan kalau suka mencuri," kata Boni, geram.
Suatu hari, Desa Hijau kedatangan warga baru. Namanya Kakek Pasto, Beruang yang sudah lanjut usia. Kakek Pasto adalah pembuat pasta terkenal. Pasta buatannya sangat nikmat tak terkira. Sejak hari pertama ia datang. Rubel sudah mengincar pasta-pasta buatannya.

"Hmmm, aku sudah tidak sabar," gumam Rubel sambil mengintip dari balik pohon. Ketika Kakek Pasto sedang tertidur lelap, Rubel masuk dari jendela yang terbuka. Diambilnya kue-kue buatan kakek Pasto. Aha! Ada tiga sepiring spaghetti di mejanya. Diambilnya satu piring saja. Rubel lalu pergi diam-diam lewat jendela, sebelum Kakek Pasto terbangun.
Keesokan harinya Rubel mengulangi hal yang sama. Kali ini Kakek Pasto sedang pergi ke suatu tempat.

"Wah, wah, tentu Kakek Pasto tak pernah menghitung berapa banyak spaghetti buatannya," Rubel tertawa-tawa senang.
Tiba-tiba Kakek Pasto muncul dari balik pintu. "Siapa bilang?" hardiknya.
"Kemarin aku sudah membuat 155 kue bulan. Ketika bangun tidur, kuhitung tinggal 98. Jadi ada 57 yang hilang. Aku juga memasak spaghetti. Ada 900 lembar spaghetti terbagi dalam tiga piring. Kemarin tinggal dua piring."

Rubel gelagapan. Kakek Pasto tak hanya pintar memasak, ia juga pintar berhitung! Rubel tak bisa berkilah lagi. Kakek Pasto sudah memergokinya mencuri makanannya.

Kabar itu menyebar ke seluruh desa. Rubel sekarang punya julukan baru, 'Si Pencuri Makanan'. Kini untuk mendapatkan makanan, Rubel harus bekerja keras. Ia harus menggiling adonan pasta menjadi lembaran-lembaran spaghetti. Setiap hari ia harus menghasilkan 1500 lembar spaghetti, tak boleh kurang. Karena Kakek Pasto benar-benar menghitungnya.


Lihat Dongeng Berikutnya



        Kembali ke Home

Dongeng Gigi-Gigi Sipi | DONGENG ANAK DUNIA

oleh Bambang Irwanto

Sipi adalah anak sapi yang lucu. Badannya bulat gendut. Bulu-bulunya halus dan bersih. Sipi suka sekali memakai pita merah jambu di atas kepalanya. Sayang, Sipi tidak pernah tersenyum. Ia selalu menutupi bila bertemu hewan lain. Sipi malu karena tidak mempunyai gigi depan atas. Kadang-kadang, Sipi bingung. Kenapa gigi depan atasnya tidak tumbuh? Padahal, yang bawah tumbuh.

"Kita memang tidak punya gigi depan atas, tetapi punya banyak gigi geraham untuk mengunyah makanan," jawab Bu Simi, saat Sipi bertanya pada ibunya.
"Gusi ompong kita berguna untuk menahan makanan saat kita mengunyah."

Hari pertama masuk sekolah, Sipi menutupi mulutnya dengan sapu tangan. Sipi tidak mau ada yang mengejeknya karena ompong. Sipi duduk sebangku dengan Disi, anak kambing berbulu putih yang lucu dan ramah.

"Kenapa kamu menutupi mulutmu?" tanya Disi bingung.
"Sakit gigi," jawab Sipi berbohong.
"Pergi saja ke rumah Paman Oli Kambing. Dia bisa meramu obat sakit gigi." Disi tersenyum lebar. Sipi iri melihat gigi Disi yang berderet rapi.

Pulang sekolah, Sipi menemui ibunya.

"Bu, saya mau pasang gigi depan atas."
Bu Simi terbahak dan langsung menolak keinginan Sipi. Sipi kesal. Sipi tidak mau makan rumput saat makan siang.

"Baiklah. Hari Minggu nanti ibu antar kamu ke Paman Oli." Sipi meloncat kegirangan.

Besoknya, Sipi berangkat ke sekolah dengan gembira. Sipi tidak sabar menanti hari Minggu.

Sebelum pelajaran dimulai, tiba-tiba Pak Ruru, sang kepala sekolah datang bersama seekor anak sapi yang cantik.

"Anak-anak, ini Pippa, teman baru kalian."
"Halo teman-teman, nama saya Pippa. Saya ingin menjadi teman kalian." Pippa tersenyum lebar. Gusinya yang tidak ditumbuhi gigi jadi terlihat.

Sipi menahan nafas. Pasti teman-teman akan menertawakan Pippa. Pippa pasti akan malu sekali, pikir Sipi.
Akan tetapi, tidak ada yang tertawa. Teman-teman malah berebut bersalaman dengan Pippa. Pippa pun dengan ramah membalas sambil terus tersenyum lebar.

Ah, Sipi jadi bersemangat." Disi, yuk, kenalan dengan Pippa!" Sipi melihat sapu tangan, lalu memasukkannya ke tas.

"Eh, kamu tidak sakit gigi lagi, Sipi?" tanya Disi bingung.
Sipi mengangguk sambil tersenyum lebar, memperlihatkan gusinya yang tak bergigi atas.


Lihat Dongeng Berikutnya


        Kembali ke Home

Senin, 25 Mei 2015

Dongeng Anggrek Hitam Untuk Domia | DONGENG ANAK DUNIA

Terdengar suara gong dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu.
Rupanya, seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia berdoa dan bernazar,
“Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!”
Jubata adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Lalu terdengarlah..…
“Hoaaa, hooaaaa, hoooaaaaaa …” suara tangis bayi memecah kekhawatiran.
Seluruh penduduk desa menyambut gembira. “Ia lahir dengan selamat! Bayi yang cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik,” seru para wanita. Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi.
Seperti ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita. Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya.
Meskipun demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau menikah dengannya.
Suatu hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.
Dongeng Anggrek Hitam Untuk Domia
“Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?” tanya Ikot Rinding.
Mendengar pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri. Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?
Karena cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam. Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh pengembaraanya mencari Jubata.
Ketika akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit? Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.
Ikot Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata, “Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!”
Seketika Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu.
Maka Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia menjadi bersemangat kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara desisan. Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan.
Ikot Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting. Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.
Usai pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.
“Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini,” ujarnya. Salampandai bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit binatang liar yang bergerak cepat.
Sekarang Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana.
Karena gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai enam orang kakak.
Sejak itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salam pandai dan Ikot Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.
Suatu hari, “Jaga Si Bungsu baik-baik,” pesan Raja pada Ikot Rinding dan keenam putranya saat mereka akan pergi berburu. Ikot Rinding mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.
Setibanya di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun ketika keenam orang itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang berbahaya.
“Berhenti! Jangan lewat gua itu!” teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu.
Ikot Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewan-hewan itu sangat tajam. “Salampandai, tiarap!” teriak Ikot Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua. Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.
Dengan tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya. “FUUHH!” Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si Bungsu pun selamat.
Keduanya lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat bahagia karena putra kesayangannya selamat.
“Mintalah apa saja yang kau inginkan,” ujarnya pada Ikot Rinding. “Hari ini juga akan segera kupenuhi.”
Pada saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak ragu, Ikot Rinding pun berkata, “Aku memohon bukan untuk diriku tetapi untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam.”
Jubata ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar. Dan kini Ikot Rinding meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti. Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.
“Permohonanmu kukabulkan,” ujarnya.
“Apakah tandanya?” tanya Ikot Rinding.
Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar, tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di halaman istana Jubata.
“Inilah tandanya,” sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot Rinding. “Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini segera berubah warna. Itulah pertanda. Bahwa nazar ibunya telah kulepaskan.” Usai menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana. Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.
Anggrek hitam ia serahkan pada Domia. “Pejamkan matamu…” pinta Ikot Rinding. Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. “Nazar ibumu akan dilepaskan Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah warna.”
Ketika membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia telah terlepas dari nazar. Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.



Lihat Dongeng Berikutnya


        Kembali ke Home

Video Dongeng Beauty and The Beast | DONGENG ANAK DUNIA